PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Senin, 29 April 20132komentar



PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM*
Oleh: Nur Zaini



Abstraksi, pendidikan sangat menentukan terhadap pembentukan watak, kepribadian, karakter dan budi pekerti warga. Oleh karenanya, fenomena  kejahatan, tindak criminal, perbuatan asusila dan penggunaan narkoba, baik oleh warga masyarakat maupun anak didik, maka pendidikan dianggap yang paling bertanggung jawab. Di Indonesia sendiri, berbagai penyelewengan dan kejahata juga kerap terjadi, mulai dari korupsi, bullying, narkoba di lingkungan sekolah dan lain-lain. Terjadinga berbagai penyelewengan dan kejatan tersebut menandakan rendahnya akhlak, budi pekerti dan karakter bangsa. Menyadari hal itu pemerintah melalui Kemendiknas mencanangkan, salah satunya adalah model Pendidikan karakter untuk meningkatkan karakter dan budi pekerti warga bangsa. Ini bukan berarti sebelunya tidak ada pendidikan karakter namun pemerintah lebih menekankan pendidikan karakter secara tersiste.  Langkah awal pemerintah dimulai dari lembaga sekolah maupun madrasah dengan menyisipkan nilai karakter bangsa ke dalam persiapan dan proses pembelajaran. Guru dalam hal ini menjadi kunci atas keberhasilan penerapan pendidikan karakter ini sebab gurulah yang secaralangsung berhadapan dengan peserta didik. Guru dalam hal ini dituntut untuk menyiapkan perangkat pembelajaran dan kemudian melaksanakan pendidikan berkarakter di kelas. Namun, sementara ini kenyataannya guru masih belum siap secara utuh untuk melaksanakan pendidikan karakter ini. Kebanyakan guru bisa menyisipkan nilai karakter bangsa pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tapi ditak bisa sepenuhnya melaksanakan dalam kelas. Bahkan masih ada sebagian besar guru yang justru untuk menyusun RPP berkarakter masih belum bisa apalagi melaksanakannya. Sementara ini potret pendidikan yang bisa dikatakan eksis dalam membina karakter adalah sistem pendidikan di pesantren atau sekolah-sekolah yang diasramahkan. Karena pada prinsipnya penenaman karakter lebih efektif dengan pembiasaan dan percontohan dan ini lebih memungkinkan di lakukan di pesantren atau asramah yang diwasi langsung oleh gurunya.
    
A.      PENDAHULUAN
            Untuk kesekian kali dunia pendidikan kita menjadi yang tertuduh atas kebobrokan bangsa. Dari berbagai peristiwa saat ini, mulai dari kasus Gayus Tambunan, Nazaruddin, Makam Periok, tawuran antar pelajar bahkan antar mahasiswa cukup menjadi bukti atas runtuhnya potensi bangsa Indonesia atau dengan bahasa yang agak kasar “kebobrokan bangsa”. Peristiwa lain yang membuktikan atas kebobrokan ini misalnya berbagai macam psikotropika dan narkotika banyak beredar di kalangan anak sekolah. Lebih mengerikan, penjual dan pembeli adalah orang-orang yang masih berstatus siswa. Mereka menjadi pengguna sekaligus pengedar.
            Fenomena tersebut seolah memantapkan hasil survei PERC ( Political and Economic Risk Colsultancy) dan UNDP (  United Nations Developmen Program ). PERC menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia menempati posisi terburuk di kawasan Asia, satu tingkat di bawah Vietnam (dari 12 negara yang disurvei).[1]  Sementara itu laporan UNDP  tahun 2004 dan 2005 menyatakan bahwa IPM (indeks pembangunan manusia) di Indonesia juga menempati posisi terburuk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan 111 dari 175 negara dan tahun 2005 menempati urutan 110 dari 177 negara.
            Litbang kompas juga menyebutkan data dan fakta bahwa 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI dan Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM.
            Data dan fakta di atas merupakan bagian dari kemerosotan  moral dan karakter yang menunjukkan bahwa ada kegagalan pada pendidikan kita dalam menumbuhkan manusia yang berkarakter dan berakhak mulia atau dengan bahasa sederhana pendidikan kita belum bisa mengubah  manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan. sehingga dalam berbagai macam posisi di dunia, bangsa Indonesia juga mengalami kemunduran.
            Menyadari hal tersebut, pemerintah pada tahun 2010 mengambil langkah dengan mencanangkan visi penerapan pendidikan karakter atau pendidikan nilai-nilai karakter budaya bangsa. Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 01 Tahun 2010 tentang budaya Karakter Bangsa, kewirausahaan, dan Ekonomi Kreatif serta Impres No 06 Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif.   Pendidikan karakter harus ditanamkan dan dimiliki oleh setiap manusia yang ingin berubah sikap dan perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Baik elemen masyarakat pendidikan, guru, dosen, pemerintah, mahasiswa, dan pelajar. Semua elemen tersebut harus memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai generasi penerus bangsa.  Pendidikan karakter menjadi sangat penting sebab ia merupakan ruh pendidikan dalam pembentukan  manusia.[2]
            Sebenarnya, gagasan pendidikan karakter ini sebelumnya telah dikampanyekan oleh presiden Soekarno pada awal tahun 1960-an. Pendidikan karakter tersebut oleh Suekarno dikenal dengan nation and character building. Beliau berpandangan bahwa nation and character building sebagai bagian intergral dari pembangunan bangsa. Karakter suatu  bangsa berperan besar  dalam mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia[3].  Pendidikan karakter ini dapat ditelusuri dari keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship) yang merupakan wujud dari loyalitas setiap manusia.
             Di Barat, terminology pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang berjudul, The Return of Character Education. Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Ia mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman harus diwaspadai. Karena jika sepuluh tanda ini suda ada, berarti sebuah bangsa menuju kehancuran.[4]sepuluh tanda itu adalah: 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-group yang kuat dalam kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan alcohol, narkoba, seks bebas, 5) kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) etos kerja menurun, 7) rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara, 9) membudayanya ketidakjujuran, dan 10) adanya sling curiga dan benci antar sesama.
            Mencermati beberapa kasus kejadian di Indonesia sebagaiman digambarkan di atas, kemudian kita cocokkan dengan tanda-tanda yang dikemukakan oleh Lickona, maka bangsa Indonesia sudah termasuk kedalam kategori Negara yang menuju kehancuran. Sehingga pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti menjadi harga mati.
            Namun  yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan karakter ini benar-benar menjadi prioritas dalam implementasinya, khususnya di sekolah atau instansi pendidikan? Sebab sekolah sebagai instansi pendidikan dimana pendidikan itu sendiri merupakan pembudayaan, tidak bisa menghindarkan diri dari upaya pembentukan karakter bagi anak didik.   

B.       Konsep Dasar Pendidikan Karakter
                        Sebelum mendefinisikan pendidikan karakter terlebih daluhu saya kemukakan pengertian karakter menurut beberapa pendapat. Kata karakter diambil dari bahasa Inggris dan juga bersal dari bahasa Yunani Character. Kata ini awalnya digunakan untuk menandai hal yang mengesankan dari dua koin (keping uang). Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menandai dua hal yang berbeda satu sama lainnya, dan akhirnya digunakan juga untuk menyebut kesamaan kualitas pada tiap tiap orang yang membedakan dengan kualitas lainnya.[5] Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
            Karakter cenderung disamakan dengan personalitas atau kepribadian. Orang yang memiliki karakter berarti memiliki kepribadian.  Keduanya diartikan  sebagai totalitas nilai yang dimiliki seseorang yang mengarahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Totalitas nilai meliputi tabiat, akhlak, budi pekerti dan sifat-sifat kejiawaan lainya.[6]  Hal senada disampaikan oleh Shimon Philips, bahwa karakter diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan[7]. Perilaku tertentu seseorang, sikap atau pikirannya yang dilandasi oleh nilai tertentu akan menunjukkan karakter yang dimilikinya. Pengertian karakter di atas menunjukkan dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Dimana prilaku tersebut merupakan manifestasi dari karakter. Orang yang berprilaku tidak jujur, rakus dan kejam, tentulah ia memanifestasikan perilaku/karakter buruk. Sebaliknya, apabila orang berperilaku jujur, suka menolong tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter berkaitan dengan dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.   
            Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya. Apa yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya merupakan dorongan dari karakter yang ada padanya. Dengan adanya karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena  yang muncul dalam diri ataupun hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya.
Pendidikan Karakter
            Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan[8], yaitu kualitas  kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Raharjo[9] memaknai pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistic yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan daam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai luhur[10] tersebut antara lain  kejujuran,  kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan berfikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berfikir logis. Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya mentransfer pengetahuan atau melatih suatu keterampilan  tertentu. penenaman karakter perlu proses, contoh keteladanan, dan pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik, baik lingkungan sekolah, kelarga maupun masyarakat termasuk lingkungan exposure media massa.
                        Pendidikan karakter dari sisi substansi dan tujuannnya sama dengan pendidikan budi pekerti, sebagai sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar atas individu. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun dan perilaku. Secara hakiki, budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hokum, tata kerama, sopan santun dan norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti ini akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran,  sikap, perasan, dan kepribadian manusia.
            Istilah karakter juga meiliki kedekatan dengan etika. Karena umumnya orang dianggap memiliki karakter yang baik  jika mampu bertindak berdasarkan etika yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran[11]. Penyebutan etika dalam bahasa Yunani dikenal dengan ethos atau ethikos (etika) yang mengandung arti usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau menjadi baik. Etika dalam arti etimologi diidentikan dengan moral yang berarti adat atau cara hidup.[12] Meskipun etika dan moral ini sinonim, namun focus kajian keduanya dibedakan.[13] 
            Pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan.[14] Pertama, mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan prilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kratif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatn, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
            Untuk mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan karakter yang harus lampaui, yaitu:
1.    Moral Knowing, tahap ini adalah langka pertama dalam pendidika  karakter. Dalam tahap ini diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara doktrin.
2.    Moral Loving, merupakan penguat aspek emosi manusia untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empaty, cinta kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau akal.
3.    Moral Doing/Acting, merupaka outcome dan puncak keberhasilan peserta didik dalam pendidikan karakter. Wujud dari tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari.[15]
Ketiga tahapan di atas perlu disuguhkan kepada peserta didik melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter topeng.
           
C.      Tinjauan Islam terhadap Pendidikan Karakter
            Diskursus pendidikan karakter ini memberikan pesan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan karakter. Moral dan nilai spiritual sangat fundamental dalam membangun kesejahteraan organisasi sosial manapun. Tanpa keduanya maka elemen vital yang mengikat khidupan masyarakat dapat lenyap. 
            Dalam Islam terdapat nilai utama, yaitu akhlak, adab dan keteladanan. Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari’ah dan ajaran agama secara umum. Sedangkan term adab merujukkepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad Saw. ketiga nilai ini yang menjadi  pilar pendidikan karakter dalam Islam.
            Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat. Perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hokum memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral. Inti perbedaan ini  adalah keberadaan Wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam, sehingga pendidikan karakter dalam Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis[16]. Pendekatan ini membuat pendidikan karakter  dalam Islam lebih cenderung pada teaching right and wrong. 
            Atas kelemahan ini, para pakar pendidikan Islam kontemporer menawarkan pendekatan yang memungkinkan pembicaraaan yang.menghargai bagaimana pendidikan moral diniai, dipahami secara berbeda. Namun apapun pendekatannya, kekayaan pendidikan Islam dengan ajaran moral sangat menarik untuk dijadikan conten dari pendidikan karakter. Hanya saja pada tataran operasional, pendidikan Islam belum mampu mengelolah conten ini menjadi materi yang menarik dengan metode dan tehnik yang efektif.
            Ajaran moral dalam Islam dikenal sebagai ajaran akhlak. Akhlak diartikan sebagai ilmu tata karma,[17] ilmu yang berusaha mengena tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila. Darasz mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan tindakan yang benar (akhlak baik) atau tindakan yang jahat (akhlak buruk).[18] Dalam Islam, akhlak menempati kedudukan yang penting dan dianggap memiliki fungsi vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Akhlak Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrohnya. Prinsip akhlak Islam termanifestasi dalam aspek kehidupan yang diwarnai keseimbangan, realis, efektif, efesien, asas manfaat, disiplin dan terencana serta memiliki dasar analisis yang cermat.
            Kualitas akhlak seseorang setidaknya dapat dilihat dari tiga indicator[19]. Pertama, konsisten antara yang dikatakan dengan yang dilakukan, dengan kata lain adanya kesesuaian antar perkataan dengan perbuatan. Kedua, konsisten orientasi, yakni adanya kesesuaian antara pandangan dalam satu hal dengan pandangannya dalam bidang lainnya. Ketiga,  konsisten dengan pola hidup sederhana. Dalam tasawuf, sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap kebajikan pada hakikatnya adalah cerminan dari akhlak yang mulia.
            Ajaran akhlak senantiasa bersifat praktis, dalam arti langsung dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Ajaran akhlak yang bersifat antipatif terhadap kebutuhan perubahan, memiliki sejumlah prinsip yang lentur yang dapat mengarahkan warga masyarakat pada perubahan, misalnya adalah prinsip membawa manfaat. Prinsip inilah salah satu yang menjaga agar reaksi-reaksi sesaat yang umumnya negatife terhadap gagasan dan gaya baru, justru tidak mematikannya.
            Dari dapat kita liahat bahwa pendidikan akhlak dalam Islam mempunyai orientasi yang sama dengan pendidikan karakter yang sedang booming saat ini, yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam, sedangkan pendidikan karakter terkesan barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antara karakter dan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahap yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedang pendidikan akhlak sarat dengan informasi criteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai spiritualitas dan agama. 

D.      Strategi PENGEMBANGAN Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana atau linguknagn yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter yang dibangun melalui pendidikan karakter bersifat inside out, dalam arti perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan adanya paksaan dari luar.[20] Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai pada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tin dakan untuk melakukan nilai-nilai ini.
            Pendidikan karakter dalam konteks Indonesia juga menggunakan dua strategi pengembangan. Yaitu strategi pengembangan karakter secara makro dan strategi pengemangan karakter secara mikro.
Strategi Pengembangan Karakter secara Makro
            Strategi pengembangan karakter secara makro artinya keseluruhan konteks perencanan dan implementasi pengembangan nilai/karakter melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional. Menurut Dasim Budimansyah, strategi ini dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil.[21]
a.      Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan dan dirumuskan dengan menggunakan bebagai sumber, antara lain pertimbangan: 1) filosofis-Agama, pancasila, UUD 1945, UU No 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunya (dalam konteks ke Indonesiaan); 2)pertimbangan teoritis – teori tentang otak, psikologi, nilai dan moral, pendidikan (pedagogic dan andragogik) dan sosial cultural; dan 3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktik terbaik (best practice), antara lain: tokoh-tokoh, pesantren, sekolah unggulan, dan klompok cultural.
b.      Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses belajar yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan: sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan menanamkan dua jenis pengalaman belajar dengan dua pendekatan, yakni intervensi dan habituasi. Melalui intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structure learning experiences). Sementara melalui habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan peserta didik di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakat dengan membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui intervensi. Kedua proses ini -intervensi dan habituasi-   harus dikembangkan secara sistemik dan holistic.
c.      Pada tahap evaluasi hasil dilakukan pengukuran (assessment) untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja diracang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indicator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter ini berhasil dengan baik.
Strategi Pengembangan Karakter secara Mikro
            Adapun strategi pengembangan karakter pada kontek mikro berlangsung dalam kontek satuan pendidikan atau sekolah secara holistic  (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector,  berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah.
            Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar megajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk penciptaan budaya sekolah (school culture); kegiatan ko kurikuler atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat.[22] Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus untuk mata pelajaran agama dan pendidikan kwarganegaraan, karena memang misinya mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi focus utama yang dapat mengguanakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran ( instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pembangunan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memilikidampak pengiring berkembannya karakter dalam diri peserta didik.[23]
            Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-kultural memungkinkan para peserta didik  bersama dengan warga sekolah terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan nilai/karakter. Melelui langka ini akan terbangun  budaya sekolah (school culture) yang mencerminkan nilai-nilai karakter seperti budaya bersih, disiplin, kritis, sopan santun dan toleransi. Budaya sekolah diyakini merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi terhadap sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, dan anggota kelompok masyarakat dengan warga sekolah. Nilai karakter yang dikembangkan dalam budaya sekolah seperti kepemimpinan, keteladana, keramahan, toleransi, rasa keangsaan dan tanggung jawab.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah perlu diupayakan dengan pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan holistic dalam pendidikan karakter memiliki indikasi sebagai berikut[24]:
1.      Segala kegiatan di sekolah diatur berdasarkan sinergitas-kolaborasi hubungan antar siswa, guru dan masyarakat.
2.      Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
3.      Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
4.      Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelaj ran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
5.      Siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktikkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberi pelayanan
6.      Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi focus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
7.      Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi dimana guru dan siswa membangun kesatuan, norma dan memecahkan masalah
Sementara itu, peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter bisa melalui empat langkah:
1.       Mengumpulkan guru, orang tua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi  dan mendefinisikan unsure-unsur karakter yang ingin ditekankan
2.      Memberi pelatihan bagi gurut entang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah
3.      Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa perilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
4.      Member kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk menjadi model pelaku sosial dan moral[25]

                        Pada lingkungan keluarga, orang tua/wali mengupayakan pendidikan karakter melalui kegiatan keseharian di rumah, untuk memperkuat hasil pendidikan karakter yang di lakukan sekolah. Pada lingkungan masyarakat, tokoh-tokoh/pemuka masyarakat mengupayakan pendidikan karakter melalui kegiatan keseharian di tengah-tengah masyarakat sebagai upaya memeperkuat hasil pendidikan karakter di sekoah dan keluarga.
            Pola kolaboratif ketiga institusi ini dalam berbagi peran ketika mendidik karakter anak didik tidak bisa ditawar lagi sesuai dengan meningkatnya kompleksitas dan kesulitan dalam pendidikan karakter pada era sekarang. Kompleksitas dan kesulitan yang lebih tinggi ini  merupakan dampak dari factor perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang lebih massif dibandingkan dengan era-era sebelumnya.[26] Lickona mengungkapkan bahwa sinergi orang tua, guru, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah dalam pembentukan karakter peserta didik mutlak diperlukan.[27] Hanya dengan demikian, akan terbentuk iklim atau atmosfer sekolah yang kondusif bagi persemaian nilai-nilai luhur yang disepakati.
           
E.       penerapan kurikulum  pendidikan Karakter secara integral
            Secara teori, ada dua pendekatan dalam menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, pendidikan karakter diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, pendidikan karakter diposisikan sebagai misi setiap mata pelajaran atau diintegrasiakan ke dalam setiap mata pelajaran. Agaknya pendekatan yang kedua yang menjadi pilihan dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
            Secara makro, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam kegiatan intrakulrikuler dan kokurikuler. Perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik. Pendidikan karakter ini diterapkan ke dalam kurikulum melalui:
1.    Program pengembangan diri
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program pengembangan diri dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu kegiatan rutin sekolah, kegiatan sepontan, teladan dan pengkondisian.
2.    Pengintegrasian ke dalam semua mata pelajaran
          Pendidikan karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata pelajaran, karena pada setiap mata pelajaran memiliki nilai-nilai karakter yang harus dicapai peserta didik. Di sini dibutuhkan kerja keras guru untuk menemukan sekaligus merumuskan nilai karakter yang terdapat pada mata pelajaran yang diajarkannya. Langkan guru dalam mengintegrasikan nilai karakter dimulai dari merumuskan nilai karakter kedalam silabus dan RPP  untuk selanjutnya dilaksanakan dalam pembelajaran.pengembangan nilai karakter dalam silabus ditempuh dengan cara: mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar apakah kandungan nilai karakter sudah tercakup di dalamnya, memperlihatkan keterkaitan SK/KD dan indicator untuk menentukan nilai karakter yang dikembangkan, mngembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif dan memungkinkan peserta didik melakukan internalisasi nilai dan mnunjukkannya dalam prilaku, dan member bantuan peserta didik yang kesulitan menginternalisasikan nilai karakter.
          Untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran dibutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antar semua mata pelajaran. Masing-masing mata pelajaran memiliki fungsi dan peran dalam menanamkan nilai karakter. PAI dan PKn membangun akhlak dan moral perlu mendapat dukungan dari mata pelajaran  yang lain seperti pendidikan jasmani, sains, matematika dan lain-lain. Dengan pertimbangan ini, semua mata pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter peserta didik.
3.    Pengintegrasian ke dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
       Melalui kegiatan ko kurikuler atau kegiatan ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan dalam rangka pengembangan nilai atau karakter. Kegiatan ko kurikuler yang berorientasikan pendidikan karakter seperti kegiatan praktik dan diskusi pengayaan mata pelajaran sains, IPS, agama, olah raga dan lain-lain, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Adapun kegiatan ekstrakurikuler misalnya kegiatan palang merah remaja, pecinta alam, karya ilmiah remaja, perkemahan dan lain-lain. Keduanya perlu dikembangkan proses pembiasaan untuk pengembangan karakter.
4.    Pembiasaan
Sekolah seyogyanya menerapkan totlitas pendidikan dengan mengandalka keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik adalah bermuatan pendidikan karakter. Penciptan lingkungan di sekolah dapat dilakukan melalui: penugasan, pembiasaan, pelatihan, pengajaran, pengarahan, dan keteladanan.

F.       realita pendidikan karakter di indonesia
          sudah memasuki tahun kedua setelah dicanangkannya pendidikan karakter oleh kemendiknas, namun kentaan di lapangan (di sekolah-sekolah) masih seperti sebelumnya dan belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan kualitasnya. Nilai-nilai  budi pekerti  belum spenuhnya terakomdir oleh Materi pendidikan agama dan materi pendidikan kewarganegaraan. Disamping itu materi agama termasuk budi pekerti yang disampaikan oleh guru agama masih bersifat normatif dan “melangit”. Dalam  pengertiana, rumusan tujuannya bersifat teosentris dan abstrak. Hal ini bukanya tidak sah, tetapi cenderung mengabaikan realita nyata, dimana peserta didik hidup dan berinteraksi. Sehingga pendidikan agama dianggap belum bisa memperkuat moralitas anak.
          Model pengintegrasian pendidikan karakter pada sumua mata pelajaran, termasuk pengintegrasian pada program kokurikuler dan ekstrakurikuler, juga belum dapat dilaksanakan dengan optimal, baik oleh pemerintah maupun pelaku pendidikan (kepala sekolah dan guru). Secara umum, ada empat kelemahan yang mnyebabkan pendidikan karakter belum optimal. Pertama, guru belum memahami sepenuhnya bagaimana menintegrasikan nilai karakter pada masing-masing materi pelajaran. Sehingga ketika menyantumkan nilai karakter saat penyusunan silabus dan RPP terkesan asal yang penting ada bunyi nilai karakter “formalitas”. Kedua, karena Silabus dan RPP hanya sebagai formalitas, maka dalam proses pembelajaran berjalan secara konvensional sesuai gaya guru masing-masing dan tidak mencerminkan peaksanaan dari silabus dan RPP, sehingga pesan penanaman nilai karakter juga tidak terealisasikan. Ketiga,  masih kuatnya orientasi pendidikan pada dimensi pengetahuan (cognitive oriented) dan kurang memperhatikan aspek pengembangan sikap.[28]   Hal ini menyebabkan para peserta didik mengetahui banyak hal, namun kurang memiliki sitem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahuinya. Keempat, masih kuatnya asumsi bahwa jika aspek perkembangan kognitif dikembangkan secara benar maka aspek afektif akan ikut berkemban. Asumsi ini salah mengingat pengembangan afektif  bisa secepat perkembangan kognitif, jika pengalaman pembelajaran afektif diberikan sama banyaknya dengan pengalaman pembelajaran kognitif.  
          Sampai saat ini, mungkin pola pendekatan pembiasaan dan keteladanan masih sangat efektif  untuk menanamkan nilai karakter atau budi pekerti peserta didik. Pembiasaan berarti pola kegiatan yang dilakukan secara continue. Dengan pola pembiasaan, dapat muncul nilai-nilai karakter seperti disiplin, tanggungjawab, jujur, peduli, dan tentunya religious. Pola pembiasaan dan keteladanan ini dapat kita lihat dari pola pembelajaran di pondok pesantren, sekolah-sekolah yang mnerapkan sistim asramah dan lain-lain. 

G.      Penutup
          pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti (akhak) dalam Islam merupakan keniscayaan guna mengurangi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Agar efektif  maka pendidikan karakter harus melibatkan tiga basis. Pertama, basis kelas, dimana terjadi relasi antara guru dan peserta didik.  Kedua, basis kultur sekolah yaitu membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter peserta didik, dan ketiga, basis komunitas, yaitu keluarga, masyarakat dan Negara juga harus membangun karakter yang tercerminkan dalam pola kehidupan sehari-hari.
          Sekolah atau lembaga pendidikan sebagai salah satu basis dalam pengembangan pendidikan karakter harus dapat mengimplementasikan pendidikan karakter pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah dengan menggunakan berbagai pendekatan. Disini dibutuhkan keseriusan seluruh komponen yang ada (kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan) dan pemerintah.
          Diantara pendekatan yang saat ini dipandang efektif dalam pengembangan pendidikan karakter adalah pembiasaan dan keteladanan sebagaiman yang diterapkan di pondok pesantren dan sekolah-sekolah sistem asramah.
H.      Daftar Pustaka
Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011)
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter: Strategi mendidika anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010)
Fathul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011)
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Pusat Filosof, 1987)
Husain Al Habsy, Kamus Al Kautsar, (Surabaya: Assegaf, tt)
Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter”  dalam  Katresna72. Wordpress.com, 23 Oktober 2010, http://katresna72. Wordpress.com/2010/10/23/grand - design-pendidikan –karakter/.
M. Yatimi Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007)
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
Oos M. Anwar, Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 Edisi Khusus III Oktober  2010),
Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010)
Said Hamid Hasan dkk. “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Brdasarkan Nilai-nilai Bangsa, (Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010)
Siti Irene Astuti D. “Pendekatan Holistikn dan Kontektual dalam mengatasi krisis karakter di Indonsia” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta: UNY, Mei 2010, th.XXIX,Edisi Khusu Dies Natalis UNY)
Suyanto, Refleksi dan reformasi pendidikan di IndonesiaMemasuki millennium Ketiga, (Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa, 2000)
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,( Jakarta: Kencana, 2011)




*. Makalah disajikan dalam seminar kelas, pada mata kuliah Trend and Issue Contemporary of Islamic Studies, yang diampu oleh Prof. Dr. Toha Hamim, Program Pascasarjana (S-3) IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 7 Nopember 2011.
[1] .Kompas,  tanggal 5 September 2001
[2] Mardiatmaja, dalam  Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 4.
[3] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 5
[4] Lickona dalam Masnur Muslich, Pendidikan …, 35.
[5] Fathul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011), 162.
[6] Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 11.
[7] Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter: Strategi mendidika anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), 80.
[8] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,( JakartaK Kencana, 2011), 15.
[9] Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010)
[10] Nilai-nilai luhur di sini dapat diambil atau disarikan dari teori-teori pendidikan, psikologi pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, Pancasila dan UUD 1945, dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik dalam praktik nyata dalam kehdupan sehari-hari. Lihat. Oos M. Anwar, Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 Edisi Khusus III Oktober  2010), 258.
[11] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Pusat Filosof, 1987), 4.
[12] Maftukhin, “ Etika Imperatif Kategoris” dalam Filsafat Barat, (Yogyakarta: Arruz Media, 2007), 194.
[13] Etika lebih merupakan pandangan filosofis tentang tingkah laku, sedang  moral lebih pada aturan normative yang  menjadi  pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika merupakan studi kritis dan sistematis tentang moral, sedangkan moral merupakan objek material etika. Lihat. Maftuhin, “Etika…Ibid
[14] Said Hamid Hasan, dkk. “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Brdasarkan Nilai-nilai Bangsa, (Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010),  7.
[15] Abdul Madjid, Pendidikan , 113.
[16] Abdul Madjid, Pendidikan,  59.
[17] Husain Al Habsy, Kamus Al Kautsar, (Surabaya: Assegaf, tt),87.
[18] M. Yatimi Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007),  4.
[19] Abdul Madjid, Pendidikan, 61.
[20] Siti Irene Astuti D. “Pendekatan Holistikn dan Kontektual dalam mengatasi krisis karakter di Indonsia” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta: UNY, Mei 2010, th.XXIX,Edisi Khusu Dies Natalis UNY), 156.
[21] Abdul Madjid, Pendidikan, 39. lihat juga Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter”  dalam  Katresna72. Wordpress.com, 23 Oktober 2010, http://katresna72. Wordpress.com/2010/10/23/grand - design-pendidikan –karakter/.
[22] Katresna72, “Grand, 9.
[23] ibid.
[24] Zubaedi, Desain, 195-196.
[25] Zubaedi, Desain, 196.
[26] Katresna72, “Grand, 10
[27] Lickona dalam Zubaedi, Desain, 76.
[28] Suyanto, Refleksi dan reformasi pendidikan di IndonesiaMemasuki millennium Ketiga, (Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa, 2000), 153.
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

23 Mei 2014 pukul 16.36

super bgt tulisannya... ijin amankan bang. :)

14 November 2014 pukul 04.30

Alhmadulillahh tambah refrensi


Izin comotd
Successfull
:)

Posting Komentar

Selamat Datang Di Blog KANG ZEN "Blog Informasi, Inovasi & Edukasi
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kang Zen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger