PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM*
Oleh: Nur Zaini
Abstraksi, pendidikan sangat menentukan terhadap pembentukan watak, kepribadian, karakter dan budi pekerti warga. Oleh karenanya, fenomena kejahatan, tindak criminal, perbuatan asusila dan penggunaan narkoba, baik oleh warga masyarakat maupun anak didik, maka pendidikan dianggap yang paling bertanggung jawab. Di Indonesia sendiri, berbagai penyelewengan dan kejahata juga kerap terjadi, mulai dari korupsi, bullying, narkoba di lingkungan sekolah dan lain-lain. Terjadinga berbagai penyelewengan dan kejatan tersebut menandakan rendahnya akhlak, budi pekerti dan karakter bangsa. Menyadari hal itu pemerintah melalui Kemendiknas mencanangkan, salah satunya adalah model Pendidikan karakter untuk meningkatkan karakter dan budi pekerti warga bangsa. Ini bukan berarti sebelunya tidak ada pendidikan karakter namun pemerintah lebih menekankan pendidikan karakter secara tersiste. Langkah awal pemerintah dimulai dari lembaga sekolah maupun madrasah dengan menyisipkan nilai karakter bangsa ke dalam persiapan dan proses pembelajaran. Guru dalam hal ini menjadi kunci atas keberhasilan penerapan pendidikan karakter ini sebab gurulah yang secaralangsung berhadapan dengan peserta didik. Guru dalam hal ini dituntut untuk menyiapkan perangkat pembelajaran dan kemudian melaksanakan pendidikan berkarakter di kelas. Namun, sementara ini kenyataannya guru masih belum siap secara utuh untuk melaksanakan pendidikan karakter ini. Kebanyakan guru bisa menyisipkan nilai karakter bangsa pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tapi ditak bisa sepenuhnya melaksanakan dalam kelas. Bahkan masih ada sebagian besar guru yang justru untuk menyusun RPP berkarakter masih belum bisa apalagi melaksanakannya. Sementara ini potret pendidikan yang bisa dikatakan eksis dalam membina karakter adalah sistem pendidikan di pesantren atau sekolah-sekolah yang diasramahkan. Karena pada prinsipnya penenaman karakter lebih efektif dengan pembiasaan dan percontohan dan ini lebih memungkinkan di lakukan di pesantren atau asramah yang diwasi langsung oleh gurunya.
A. PENDAHULUAN
Untuk
kesekian kali dunia pendidikan kita menjadi yang tertuduh atas kebobrokan
bangsa. Dari berbagai peristiwa saat ini, mulai dari kasus Gayus Tambunan,
Nazaruddin, Makam Periok, tawuran antar pelajar bahkan antar mahasiswa cukup
menjadi bukti atas runtuhnya potensi bangsa Indonesia atau dengan bahasa yang
agak kasar “kebobrokan bangsa”. Peristiwa lain yang membuktikan atas kebobrokan
ini misalnya berbagai macam psikotropika dan narkotika banyak beredar di
kalangan anak sekolah. Lebih mengerikan, penjual dan pembeli adalah orang-orang
yang masih berstatus siswa. Mereka menjadi pengguna sekaligus pengedar.
Fenomena
tersebut seolah memantapkan hasil survei PERC ( Political and Economic Risk Colsultancy)
dan UNDP ( United Nations Developmen
Program ). PERC menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia menempati
posisi terburuk di kawasan Asia, satu tingkat di bawah Vietnam (dari 12 negara
yang disurvei).[1] Sementara itu laporan UNDP tahun 2004 dan 2005 menyatakan bahwa IPM (indeks
pembangunan manusia) di Indonesia juga menempati posisi terburuk. Tahun
2004 Indonesia menempati urutan 111 dari 175 negara dan tahun 2005 menempati
urutan 110 dari 177 negara.
Litbang
kompas juga menyebutkan data dan fakta bahwa 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42
anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode
1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI dan Kasus korupsi terjadi
diberbagai lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM.
Data
dan fakta di atas merupakan bagian dari kemerosotan moral dan karakter yang menunjukkan bahwa ada
kegagalan pada pendidikan kita dalam menumbuhkan manusia yang berkarakter dan
berakhak mulia atau dengan bahasa sederhana pendidikan kita belum bisa
mengubah manusia menjadi lebih baik
dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan. sehingga dalam berbagai macam posisi
di dunia, bangsa Indonesia juga mengalami kemunduran.
Menyadari
hal tersebut, pemerintah pada tahun 2010 mengambil langkah dengan mencanangkan
visi penerapan pendidikan karakter atau pendidikan nilai-nilai karakter budaya
bangsa. Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 01 Tahun 2010
tentang budaya Karakter Bangsa, kewirausahaan, dan Ekonomi Kreatif serta Impres
No 06 Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif.
Pendidikan karakter harus
ditanamkan dan dimiliki oleh setiap manusia yang ingin berubah sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sejak dini. Baik elemen masyarakat pendidikan,
guru, dosen, pemerintah, mahasiswa, dan pelajar. Semua elemen tersebut harus
memiliki sifat dasar dan karakter yang kuat sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan karakter menjadi sangat penting
sebab ia merupakan ruh pendidikan dalam pembentukan manusia.[2]
Sebenarnya,
gagasan pendidikan karakter ini sebelumnya telah dikampanyekan oleh presiden
Soekarno pada awal tahun 1960-an. Pendidikan karakter tersebut oleh Suekarno
dikenal dengan nation and character building. Beliau berpandangan bahwa nation
and character building sebagai bagian intergral dari pembangunan bangsa.
Karakter suatu bangsa berperan
besar dalam mempertahankan eksistensi
bangsa Indonesia[3]. Pendidikan karakter ini dapat ditelusuri dari
keterkaitannya dengan kewarganegaraan (citizenship) yang merupakan wujud
dari loyalitas setiap manusia.
Di Barat, terminology pendidikan karakter
mulai ramai dibicarakan sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona dianggap sebagai
pengusungnya melalui karyanya yang berjudul, The Return of Character
Education. Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat bahwa pendidikan
karakter adalah sebuah keharusan. Ia mengungkapkan bahwa ada sepuluh
tanda-tanda zaman harus diwaspadai. Karena jika sepuluh tanda ini suda ada,
berarti sebuah bangsa menuju kehancuran.[4]sepuluh
tanda itu adalah: 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja 2) penggunaan
bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-group yang kuat
dalam kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan
alcohol, narkoba, seks bebas, 5) kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) etos
kerja menurun, 7) rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, 8)
rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara, 9) membudayanya
ketidakjujuran, dan 10) adanya sling curiga dan benci antar sesama.
Mencermati
beberapa kasus kejadian di Indonesia sebagaiman digambarkan di atas, kemudian
kita cocokkan dengan tanda-tanda yang dikemukakan oleh Lickona, maka bangsa
Indonesia sudah termasuk kedalam kategori Negara yang menuju kehancuran.
Sehingga pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti menjadi harga mati.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah
pendidikan karakter ini benar-benar menjadi prioritas dalam implementasinya, khususnya
di sekolah atau instansi pendidikan? Sebab sekolah sebagai instansi pendidikan
dimana pendidikan itu sendiri merupakan pembudayaan, tidak bisa menghindarkan
diri dari upaya pembentukan karakter bagi anak didik.
B.
Konsep Dasar
Pendidikan Karakter
Sebelum mendefinisikan pendidikan
karakter terlebih daluhu saya kemukakan pengertian karakter menurut beberapa
pendapat. Kata karakter diambil dari bahasa Inggris dan juga bersal dari
bahasa Yunani Character. Kata ini awalnya digunakan untuk menandai hal
yang mengesankan dari dua koin (keping uang). Selanjutnya istilah ini digunakan
untuk menandai dua hal yang berbeda satu sama lainnya, dan akhirnya digunakan
juga untuk menyebut kesamaan kualitas pada tiap tiap orang yang membedakan
dengan kualitas lainnya.[5]
Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain.
Karakter
cenderung disamakan dengan personalitas atau kepribadian. Orang yang
memiliki karakter berarti memiliki kepribadian.
Keduanya diartikan sebagai
totalitas nilai yang dimiliki seseorang yang mengarahkan manusia dalam
menjalani kehidupannya. Totalitas nilai meliputi tabiat, akhlak, budi pekerti
dan sifat-sifat kejiawaan lainya.[6]
Hal senada disampaikan oleh Shimon
Philips, bahwa karakter diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan[7].
Perilaku tertentu seseorang, sikap atau pikirannya yang dilandasi oleh nilai
tertentu akan menunjukkan karakter yang dimilikinya. Pengertian karakter di
atas menunjukkan dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang
bertingkah laku. Dimana prilaku tersebut merupakan manifestasi dari karakter.
Orang yang berprilaku tidak jujur, rakus dan kejam, tentulah ia
memanifestasikan perilaku/karakter buruk. Sebaliknya, apabila orang berperilaku
jujur, suka menolong tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia.
Kedua, istilah karakter berkaitan dengan dengan personality. Seseorang
baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila
tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Karakter
merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya. Apa
yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya merupakan dorongan dari karakter
yang ada padanya. Dengan adanya karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun
perangai) seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap
fenomena yang muncul dalam diri ataupun
hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana
mengendalikannya.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan[8],
yaitu kualitas kemanusiaan yang baik
secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik
untuk masyarakat secara keseluruhan. Raharjo[9]
memaknai pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistic
yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta
didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu
hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan
karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran,
penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai
dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan daam interaksi
terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai
luhur[10]
tersebut antara lain kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial,
kecerdasan berfikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berfikir logis.
Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya mentransfer
pengetahuan atau melatih suatu keterampilan
tertentu. penenaman karakter perlu proses, contoh keteladanan, dan
pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik, baik lingkungan
sekolah, kelarga maupun masyarakat termasuk lingkungan exposure media
massa.
Pendidikan karakter dari sisi
substansi dan tujuannnya sama dengan pendidikan budi pekerti, sebagai sarana
untuk mengadakan perubahan secara mendasar atas individu. Pengertian budi
pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai
moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat,
sopan santun dan perilaku. Secara hakiki, budi pekerti berisi nilai-nilai
perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui
norma agama, norma hokum, tata kerama, sopan santun dan norma budaya dan adat
istiadat masyarakat. Budi pekerti ini akan mengidentifikasi perilaku positif
yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasan, dan kepribadian manusia.
Istilah
karakter juga meiliki kedekatan dengan etika. Karena umumnya orang dianggap
memiliki karakter yang baik jika mampu
bertindak berdasarkan etika yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Etika
adalah sebuah ilmu bukan ajaran[11].
Penyebutan etika dalam bahasa Yunani dikenal dengan ethos atau ethikos
(etika) yang mengandung arti usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya
pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau menjadi
baik. Etika dalam arti etimologi diidentikan dengan moral yang berarti adat
atau cara hidup.[12]
Meskipun etika dan moral ini sinonim, namun focus kajian keduanya dibedakan.[13]
Pendidikan
karakter secara terperinci memiliki lima tujuan.[14]
Pertama, mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai
manusia dan warga Negara yang memiliki karakter bangsa. Kedua, mengembangkan
kebiasaan dan prilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai
universal dan tradisi budaya bangsa yang religious. Ketiga, menanamkan
jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai penerus bangsa. Keempat,
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kratif,
dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan
sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatn, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Untuk
mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan
karakter yang harus lampaui, yaitu:
1. Moral Knowing, tahap ini adalah langka pertama dalam
pendidika karakter. Dalam tahap ini
diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran
moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian
menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik
mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai
universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara
doktrin.
2. Moral Loving, merupakan penguat aspek emosi manusia untuk
menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang
harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empaty, cinta kebenaran,
pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi,
yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif,
logika atau akal.
3. Moral Doing/Acting, merupaka outcome dan puncak
keberhasilan peserta didik dalam pendidikan karakter. Wujud dari tahapan ketiga
ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari.[15]
Ketiga
tahapan di atas perlu disuguhkan kepada peserta didik melalui cara-cara yang
logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar
sebuah karakter topeng.
C.
Tinjauan Islam
terhadap Pendidikan Karakter
Diskursus
pendidikan karakter ini memberikan pesan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai
agama tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan karakter. Moral dan nilai
spiritual sangat fundamental dalam membangun kesejahteraan organisasi sosial
manapun. Tanpa keduanya maka elemen vital yang mengikat khidupan masyarakat
dapat lenyap.
Dalam
Islam terdapat nilai utama, yaitu akhlak, adab dan keteladanan. Akhlak merujuk
kepada tugas dan tanggung jawab selain syari’ah dan ajaran agama secara umum.
Sedangkan term adab merujukkepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku
yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan
oleh seorang yang baik yang mengikuti keteladanan Nabi Muhammad Saw. ketiga
nilai ini yang menjadi pilar pendidikan
karakter dalam Islam.
Sebagai
usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam
memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat.
Perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang
abadi, aturan dan hokum memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang
kebenaran dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral.
Inti perbedaan ini adalah keberadaan
Wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam,
sehingga pendidikan karakter dalam Islam lebih sering dilakukan secara
doktriner dan dogmatis[16].
Pendekatan ini membuat pendidikan karakter
dalam Islam lebih cenderung pada teaching right and wrong.
Atas
kelemahan ini, para pakar pendidikan Islam kontemporer menawarkan pendekatan
yang memungkinkan pembicaraaan yang.menghargai bagaimana pendidikan moral
diniai, dipahami secara berbeda. Namun apapun pendekatannya, kekayaan
pendidikan Islam dengan ajaran moral sangat menarik untuk dijadikan conten dari
pendidikan karakter. Hanya saja pada tataran operasional, pendidikan Islam
belum mampu mengelolah conten ini menjadi materi yang menarik dengan metode dan
tehnik yang efektif.
Ajaran
moral dalam Islam dikenal sebagai ajaran akhlak. Akhlak diartikan sebagai ilmu
tata karma,[17] ilmu
yang berusaha mengena tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada
perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila. Darasz
mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap,
kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan tindakan yang benar
(akhlak baik) atau tindakan yang jahat (akhlak buruk).[18]
Dalam Islam, akhlak menempati kedudukan yang penting dan dianggap memiliki
fungsi vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Akhlak Islam benar-benar
memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan
fitrohnya. Prinsip akhlak Islam termanifestasi dalam aspek kehidupan yang
diwarnai keseimbangan, realis, efektif, efesien, asas manfaat, disiplin dan
terencana serta memiliki dasar analisis yang cermat.
Kualitas
akhlak seseorang setidaknya dapat dilihat dari tiga indicator[19].
Pertama, konsisten antara yang dikatakan dengan yang dilakukan, dengan
kata lain adanya kesesuaian antar perkataan dengan perbuatan. Kedua, konsisten
orientasi, yakni adanya kesesuaian antara pandangan dalam satu hal dengan pandangannya
dalam bidang lainnya. Ketiga, konsisten dengan pola hidup sederhana. Dalam
tasawuf, sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup
sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap kebajikan pada
hakikatnya adalah cerminan dari akhlak yang mulia.
Ajaran
akhlak senantiasa bersifat praktis, dalam arti langsung dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat. Ajaran akhlak yang bersifat antipatif terhadap kebutuhan
perubahan, memiliki sejumlah prinsip yang lentur yang dapat mengarahkan warga
masyarakat pada perubahan, misalnya adalah prinsip membawa manfaat. Prinsip
inilah salah satu yang menjaga agar reaksi-reaksi sesaat yang umumnya negatife
terhadap gagasan dan gaya baru, justru tidak mematikannya.
Dari
dapat kita liahat bahwa pendidikan akhlak dalam Islam mempunyai orientasi yang
sama dengan pendidikan karakter yang sedang booming saat ini, yaitu
pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan
Islam, sedangkan pendidikan karakter terkesan barat dan sekuler, bukan alasan
untuk dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling
mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak pendidikan Karakter di Amerika justru
mengisyaratkan keterkaitan erat antara karakter dan spiritualitas. Dengan demikian,
bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para
penggiatnya sampai pada tahap yang sangat operasional meliputi metode,
strategi, dan teknik, sedang pendidikan akhlak sarat dengan informasi criteria
ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran
yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa
pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai spiritualitas dan
agama.
D.
Strategi PENGEMBANGAN
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana
atau linguknagn yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk
mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini timbul
dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap
orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter yang dibangun melalui
pendidikan karakter bersifat inside out, dalam arti perilaku yang
berkembang menjadi kebiasaan baik terjadi karena adanya dorongan dari dalam,
bukan adanya paksaan dari luar.[20]
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai pada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tin dakan untuk
melakukan nilai-nilai ini.
Pendidikan karakter dalam konteks
Indonesia juga menggunakan dua strategi pengembangan. Yaitu strategi pengembangan
karakter secara makro dan strategi pengemangan karakter secara mikro.
Strategi Pengembangan Karakter secara Makro
Strategi
pengembangan karakter secara makro artinya keseluruhan konteks perencanan dan
implementasi pengembangan nilai/karakter melibatkan seluruh pemangku
kepentingan pendidikan nasional. Menurut Dasim Budimansyah, strategi ini dapat
dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil.[21]
a. Pada tahap perencanaan
dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan dan dirumuskan
dengan menggunakan bebagai sumber, antara lain pertimbangan: 1)
filosofis-Agama, pancasila, UUD 1945, UU No 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan
turunya (dalam konteks ke Indonesiaan); 2)pertimbangan teoritis – teori tentang
otak, psikologi, nilai dan moral, pendidikan (pedagogic dan andragogik) dan
sosial cultural; dan 3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktik
terbaik (best practice), antara lain: tokoh-tokoh, pesantren, sekolah
unggulan, dan klompok cultural.
b. Pada tahap implementasi
dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses
belajar yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta
didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan
sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan
nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan: sekolah, keluarga
dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan menanamkan dua jenis
pengalaman belajar dengan dua pendekatan, yakni intervensi dan habituasi.
Melalui intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan
kegiatan yang terstruktur (structure learning experiences). Sementara
melalui habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation)
yang memungkinkan peserta didik di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakat
dengan membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang
telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui intervensi. Kedua
proses ini -intervensi dan habituasi-
harus dikembangkan secara sistemik dan holistic.
c. Pada tahap evaluasi hasil
dilakukan pengukuran (assessment) untuk perbaikan berkelanjutan yang
sengaja diracang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam
diri peserta didik sebagai indicator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan
karakter ini berhasil dengan baik.
Strategi Pengembangan Karakter secara Mikro
Adapun strategi pengembangan
karakter pada kontek mikro berlangsung dalam kontek satuan pendidikan atau
sekolah secara holistic (the whole
school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua
lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan dan
menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah.
Secara
mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni
kegiatan belajar megajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk penciptaan
budaya sekolah (school culture); kegiatan ko kurikuler atau
ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat.[22]
Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter bisa
dilakukan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran
(embedded approach). Khusus untuk mata pelajaran agama dan pendidikan
kwarganegaraan, karena memang misinya mengembangkan nilai dan sikap, maka
pengembangan nilai/karakter harus menjadi focus utama yang dapat mengguanakan
berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education).
Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai karakter dikembangkan sebagai dampak
pembelajaran ( instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant
effect). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal
memiliki misi utama selain pembangunan karakter, wajib dikembangkan kegiatan
yang memilikidampak pengiring berkembannya karakter dalam diri peserta didik.[23]
Dalam
lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-kultural
memungkinkan para peserta didik bersama
dengan warga sekolah terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang
mencerminkan nilai/karakter. Melelui langka ini akan terbangun budaya sekolah (school culture) yang
mencerminkan nilai-nilai karakter seperti budaya bersih, disiplin, kritis,
sopan santun dan toleransi. Budaya sekolah diyakini merupakan salah satu aspek
yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Budaya sekolah adalah suasana
kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi terhadap sesamanya, guru
dengan guru, konselor dengan peserta didik, dan anggota kelompok masyarakat
dengan warga sekolah. Nilai karakter yang dikembangkan dalam budaya sekolah
seperti kepemimpinan, keteladana, keramahan, toleransi, rasa keangsaan dan
tanggung jawab.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan etos
kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter
di sekolah perlu diupayakan dengan pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan
perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan
holistic dalam pendidikan karakter memiliki indikasi sebagai berikut[24]:
1. Segala kegiatan di sekolah
diatur berdasarkan sinergitas-kolaborasi hubungan antar siswa, guru dan
masyarakat.
2. Pembelajaran emosional dan
sosial setara dengan pembelajaran akademik
3. Kerjasama dan kolaborasi di
antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
4. Nilai-nilai seperti
keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelaj ran sehari-hari
baik di dalam maupun di luar kelas
5. Siswa diberikan banyak
kesempatan untuk mempraktikkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan
seperti pembelajaran memberi pelayanan
6. Disiplin dan pengelolaan
kelas menjadi focus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
7. Model pembelajaran yang
berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi dimana
guru dan siswa membangun kesatuan, norma dan memecahkan masalah
Sementara
itu, peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan
karakter bisa melalui empat langkah:
1. Mengumpulkan guru, orang tua dan siswa
bersama-sama mengidentifikasi dan
mendefinisikan unsure-unsur karakter yang ingin ditekankan
2. Memberi pelatihan bagi gurut
entang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan
budaya sekolah
3. Menjalin kerjasama dengan
orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa perilaku karakter itu
penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
4. Member kesempatan kepada
kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk menjadi model pelaku sosial
dan moral[25]
Pada lingkungan keluarga,
orang tua/wali mengupayakan pendidikan karakter melalui kegiatan keseharian di
rumah, untuk memperkuat hasil pendidikan karakter yang di lakukan sekolah. Pada
lingkungan masyarakat, tokoh-tokoh/pemuka masyarakat mengupayakan
pendidikan karakter melalui kegiatan keseharian di tengah-tengah masyarakat
sebagai upaya memeperkuat hasil pendidikan karakter di sekoah dan keluarga.
Pola
kolaboratif ketiga institusi ini dalam berbagi peran ketika mendidik karakter
anak didik tidak bisa ditawar lagi sesuai dengan meningkatnya kompleksitas dan
kesulitan dalam pendidikan karakter pada era sekarang. Kompleksitas dan
kesulitan yang lebih tinggi ini
merupakan dampak dari factor perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya
yang lebih massif dibandingkan dengan era-era sebelumnya.[26]
Lickona mengungkapkan bahwa sinergi orang tua, guru, tenaga kependidikan, dan
kepala sekolah dalam pembentukan karakter peserta didik mutlak diperlukan.[27]
Hanya dengan demikian, akan terbentuk iklim atau atmosfer sekolah yang kondusif
bagi persemaian nilai-nilai luhur yang disepakati.
E.
penerapan kurikulum pendidikan Karakter secara integral
Secara teori, ada
dua pendekatan dalam
menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, pendidikan karakter
diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, pendidikan
karakter diposisikan sebagai misi setiap mata pelajaran atau diintegrasiakan ke
dalam setiap mata pelajaran. Agaknya pendekatan yang kedua yang menjadi pilihan
dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Secara
makro, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam kegiatan intrakulrikuler
dan kokurikuler. Perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh kepala sekolah,
guru, dan tenaga kependidikan secara bersama-sama sebagai suatu komunitas
pendidik. Pendidikan karakter ini diterapkan ke dalam kurikulum melalui:
1.
Program pengembangan diri
Perencanaan dan pelaksanaan
pendidikan karakter dalam program pengembangan diri dilakukan melalui
pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu kegiatan rutin
sekolah, kegiatan sepontan, teladan dan pengkondisian.
2.
Pengintegrasian ke dalam semua mata pelajaran
Pendidikan karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata
pelajaran, karena pada setiap mata pelajaran memiliki nilai-nilai karakter yang
harus dicapai peserta didik. Di sini dibutuhkan kerja keras guru untuk
menemukan sekaligus merumuskan nilai karakter yang terdapat pada mata pelajaran
yang diajarkannya. Langkan guru dalam mengintegrasikan nilai karakter dimulai
dari merumuskan nilai karakter kedalam silabus dan RPP untuk selanjutnya dilaksanakan dalam
pembelajaran.pengembangan nilai karakter dalam silabus ditempuh dengan cara:
mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar apakah kandungan nilai
karakter sudah tercakup di dalamnya, memperlihatkan keterkaitan SK/KD dan
indicator untuk menentukan nilai karakter yang dikembangkan, mngembangkan
proses pembelajaran peserta didik aktif dan memungkinkan peserta didik
melakukan internalisasi nilai dan mnunjukkannya dalam prilaku, dan member
bantuan peserta didik yang kesulitan menginternalisasikan nilai karakter.
Untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam semua
mata pelajaran dibutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antar semua mata pelajaran.
Masing-masing mata pelajaran memiliki fungsi dan peran dalam menanamkan nilai
karakter. PAI dan PKn membangun akhlak dan moral perlu mendapat dukungan dari
mata pelajaran yang lain seperti
pendidikan jasmani, sains, matematika dan lain-lain. Dengan pertimbangan ini,
semua mata pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter peserta
didik.
3.
Pengintegrasian ke dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
Melalui kegiatan ko kurikuler atau
kegiatan ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan
penguatan dalam rangka pengembangan nilai atau karakter. Kegiatan ko kurikuler
yang berorientasikan pendidikan karakter seperti kegiatan praktik dan diskusi
pengayaan mata pelajaran sains, IPS, agama, olah raga dan lain-lain, baik di
dalam kelas maupun di luar kelas. Adapun kegiatan ekstrakurikuler misalnya
kegiatan palang merah remaja, pecinta alam, karya ilmiah remaja, perkemahan dan
lain-lain. Keduanya perlu dikembangkan proses pembiasaan untuk pengembangan
karakter.
4.
Pembiasaan
Sekolah
seyogyanya menerapkan totlitas pendidikan dengan mengandalka keteladanan,
penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan.
Sehingga apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta
didik adalah bermuatan pendidikan karakter. Penciptan lingkungan di sekolah
dapat dilakukan melalui: penugasan, pembiasaan, pelatihan, pengajaran,
pengarahan, dan keteladanan.
F.
realita pendidikan
karakter di indonesia
sudah memasuki tahun
kedua setelah dicanangkannya pendidikan karakter oleh
kemendiknas, namun kentaan di lapangan (di sekolah-sekolah) masih
seperti sebelumnya dan belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan kualitasnya.
Nilai-nilai budi pekerti belum
spenuhnya terakomdir oleh Materi pendidikan agama dan materi pendidikan
kewarganegaraan. Disamping itu materi agama termasuk budi pekerti yang
disampaikan oleh guru agama masih bersifat normatif dan “melangit”. Dalam pengertiana, rumusan tujuannya bersifat
teosentris dan abstrak. Hal ini bukanya tidak sah, tetapi cenderung mengabaikan
realita nyata, dimana peserta didik hidup dan berinteraksi. Sehingga pendidikan
agama dianggap belum bisa memperkuat moralitas anak.
Model pengintegrasian pendidikan karakter pada sumua mata
pelajaran, termasuk pengintegrasian pada program kokurikuler dan
ekstrakurikuler, juga belum dapat dilaksanakan dengan optimal, baik oleh
pemerintah maupun pelaku pendidikan (kepala sekolah dan guru). Secara umum, ada
empat kelemahan yang mnyebabkan pendidikan karakter belum optimal. Pertama, guru
belum memahami sepenuhnya bagaimana menintegrasikan nilai karakter pada
masing-masing materi pelajaran. Sehingga ketika menyantumkan nilai karakter
saat penyusunan silabus dan RPP terkesan asal yang penting ada bunyi nilai
karakter “formalitas”. Kedua, karena Silabus dan RPP hanya sebagai
formalitas, maka dalam proses pembelajaran berjalan secara konvensional sesuai
gaya guru masing-masing dan tidak mencerminkan peaksanaan dari silabus dan RPP,
sehingga pesan penanaman nilai karakter juga tidak terealisasikan. Ketiga, masih kuatnya orientasi pendidikan pada
dimensi pengetahuan (cognitive oriented) dan kurang memperhatikan aspek
pengembangan sikap.[28]
Hal ini menyebabkan para peserta didik
mengetahui banyak hal, namun kurang memiliki sitem nilai, sikap, minat maupun
apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahuinya. Keempat, masih
kuatnya asumsi bahwa jika aspek perkembangan kognitif dikembangkan secara benar
maka aspek afektif akan ikut berkemban. Asumsi ini salah mengingat
pengembangan afektif bisa secepat
perkembangan kognitif, jika pengalaman pembelajaran afektif diberikan sama
banyaknya dengan pengalaman pembelajaran kognitif.
Sampai saat ini, mungkin pola pendekatan pembiasaan dan
keteladanan masih sangat efektif untuk
menanamkan nilai karakter atau budi pekerti peserta didik. Pembiasaan berarti
pola kegiatan yang dilakukan secara continue. Dengan pola pembiasaan, dapat
muncul nilai-nilai karakter seperti disiplin, tanggungjawab, jujur, peduli, dan
tentunya religious. Pola pembiasaan dan keteladanan ini dapat kita lihat dari
pola pembelajaran di pondok pesantren, sekolah-sekolah yang mnerapkan sistim
asramah dan lain-lain.
G.
Penutup
pendidikan karakter
atau pendidikan budi pekerti (akhak) dalam Islam merupakan keniscayaan guna
mengurangi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Agar efektif maka pendidikan karakter harus melibatkan
tiga basis. Pertama, basis kelas, dimana terjadi relasi antara guru dan peserta
didik. Kedua, basis kultur sekolah yaitu
membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter peserta didik, dan
ketiga, basis komunitas, yaitu keluarga, masyarakat dan Negara juga harus
membangun karakter yang tercerminkan dalam pola kehidupan sehari-hari.
Sekolah atau lembaga pendidikan sebagai salah satu basis
dalam pengembangan pendidikan karakter harus dapat mengimplementasikan
pendidikan karakter pendekatan holistis, yaitu mengintegrasikan perkembangan
karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah dengan menggunakan berbagai
pendekatan. Disini dibutuhkan keseriusan seluruh komponen yang ada (kepala
sekolah, guru, dan tenaga kependidikan) dan pemerintah.
Diantara pendekatan yang saat ini dipandang efektif dalam
pengembangan pendidikan karakter adalah pembiasaan dan keteladanan sebagaiman
yang diterapkan di pondok pesantren dan sekolah-sekolah sistem asramah.
H.
Daftar Pustaka
Abdul
Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya,
2011)
Doni
Koesuma A, Pendidikan Karakter: Strategi mendidika anak di Zaman Global
(Jakarta: Grasindo, 2010)
Fathul
Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik (Jogjakarta:
Ar Ruzz, 2011)
Franz
Magnis Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Pusat Filosof, 1987)
Husain Al
Habsy, Kamus Al Kautsar, (Surabaya: Assegaf, tt)
Katresna72,
“Grand Design Pendidikan Karakter” dalam
Katresna72. Wordpress.com, 23
Oktober 2010, http://katresna72. Wordpress.com/2010/10/23/grand - design-pendidikan
–karakter/.
M. Yatimi
Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta: Amzah,
2007)
Masnur
Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
Oos
M. Anwar, Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
(Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 Edisi Khusus III
Oktober 2010),
Raharjo, ”Pendidkan
Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” dalam Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3
Mei 2010)
Said Hamid
Hasan dkk. “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” Bahan
Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Brdasarkan Nilai-nilai Bangsa, (Jakarta:
Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010)
Siti Irene
Astuti D. “Pendekatan Holistikn dan Kontektual dalam mengatasi krisis karakter
di Indonsia” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta: UNY, Mei 2010,
th.XXIX,Edisi Khusu Dies Natalis UNY)
Suyanto, Refleksi
dan reformasi pendidikan di IndonesiaMemasuki millennium Ketiga, (Yogyakarta:
Adi Cita Karya Nusa, 2000)
Zubaedi, Desain
Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,(
Jakarta: Kencana, 2011)
*.
Makalah disajikan dalam seminar kelas, pada mata kuliah Trend and Issue
Contemporary of Islamic Studies, yang diampu oleh Prof. Dr. Toha Hamim,
Program Pascasarjana (S-3) IAIN Sunan Ampel Surabaya, tanggal 7 Nopember 2011.
[1]
.Kompas, tanggal 5 September 2001
[2]
Mardiatmaja, dalam Abdul Madjid, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 4.
[3]
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 5
[4]
Lickona dalam Masnur Muslich, Pendidikan …, 35.
[5]
Fathul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik (Jogjakarta:
Ar Ruzz, 2011), 162.
[6]
Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung:
Rosdakarya, 2011), 11.
[7]
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter: Strategi mendidika anak di Zaman Global
(Jakarta: Grasindo, 2010), 80.
[8]
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan,( JakartaK Kencana, 2011), 15.
[9]
Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan
Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010)
[10] Nilai-nilai
luhur di sini dapat diambil atau disarikan dari teori-teori pendidikan,
psikologi pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, Pancasila dan UUD 1945, dan UU
No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik
dalam praktik nyata dalam kehdupan sehari-hari. Lihat. Oos M. Anwar, Televisi
Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan, dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan
Nasional, Vol.16 Edisi Khusus III Oktober
2010), 258.
[11]
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Pusat Filosof, 1987), 4.
[12]
Maftukhin, “ Etika Imperatif Kategoris” dalam Filsafat Barat, (Yogyakarta:
Arruz Media, 2007), 194.
[13]
Etika lebih merupakan pandangan filosofis tentang tingkah laku, sedang moral lebih pada aturan normative yang menjadi
pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika
merupakan studi kritis dan sistematis tentang moral, sedangkan moral merupakan
objek material etika. Lihat. Maftuhin, “Etika…Ibid
[14]
Said Hamid Hasan, dkk. “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” Bahan
Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Brdasarkan Nilai-nilai Bangsa, (Jakarta:
Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010), 7.
[15]
Abdul Madjid, Pendidikan , 113.
[16]
Abdul Madjid, Pendidikan, 59.
[17]
Husain Al Habsy, Kamus Al Kautsar, (Surabaya: Assegaf, tt),87.
[18]
M. Yatimi Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta:
Amzah, 2007), 4.
[19]
Abdul Madjid, Pendidikan, 61.
[20]
Siti Irene Astuti D. “Pendekatan Holistikn dan Kontektual dalam mengatasi
krisis karakter di Indonsia” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta:
UNY, Mei 2010, th.XXIX,Edisi Khusu Dies Natalis UNY), 156.
[21]
Abdul Madjid, Pendidikan, 39. lihat juga Katresna72, “Grand Design
Pendidikan Karakter” dalam Katresna72. Wordpress.com, 23 Oktober
2010, http://katresna72.
Wordpress.com/2010/10/23/grand - design-pendidikan –karakter/.
[22]
Katresna72, “Grand, 9.
[23] ibid.
[24]
Zubaedi, Desain, 195-196.
[25]
Zubaedi, Desain, 196.
[26]
Katresna72, “Grand, 10
[27]
Lickona dalam Zubaedi, Desain, 76.
[28]
Suyanto, Refleksi dan reformasi pendidikan di IndonesiaMemasuki millennium
Ketiga, (Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa, 2000), 153.
+ komentar + 2 komentar
super bgt tulisannya... ijin amankan bang. :)
Alhmadulillahh tambah refrensi
Izin comotd
Successfull
:)
Posting Komentar